
OPN.net Garut
Garut – Di tengah maraknya kasus korupsi yang terus mencuat di berbagai lini pemerintahan, masyarakat Indonesia kini menemukan cara baru dalam mengekspresikan kekecewaannya: melalui teknologi kecerdasan buatan (AI). Dalam beberapa bulan terakhir, jagat media sosial dihebohkan dengan berbagai konten satir, parodi, dan sindiran tajam terhadap para koruptor yang dihasilkan menggunakan teknologi AI.
Dari video deepfake pejabat yang “bernyanyi” lagu sindiran, hingga ilustrasi bergaya komik dan animasi AI yang menggambarkan gaya hidup mewah para pejabat korup, kreativitas netizen Indonesia tampaknya tak terbendung. Konten-konten ini bukan hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana kritik sosial yang kuat.
“Saya buat animasi AI yang menggambarkan seorang pejabat tidur di atas tumpukan uang sambil berkata ‘Saya bekerja untuk rakyat’,” ujar Aditya, seorang kreator konten dari Yogyakarta. “Lewat teknologi ini, kita bisa menyampaikan pesan dengan cara yang lebih tajam tapi tetap aman secara hukum.”
Fenomena ini juga mendapat perhatian dari para pakar media dan komunikasi. Menurut Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Dr. Tania Kurnia, penggunaan AI sebagai alat kritik sosial menunjukkan tingkat literasi digital yang makin berkembang di kalangan masyarakat.
“Teknologi ini memberi ruang bagi warga untuk berpartisipasi dalam kontrol sosial. Namun, tentu saja tetap harus diiringi dengan tanggung jawab dan etika,” ujarnya.
Sementara itu, beberapa pejabat yang merasa tersindir oleh konten-konten ini mulai menyuarakan keprihatinan mereka. Namun, mayoritas publik menganggap sindiran semacam ini adalah bentuk kebebasan berekspresi dan bagian dari demokrasi.
Tak sedikit pula aktivis antikorupsi yang mendukung gerakan digital ini. “Ini adalah perlawanan kreatif. Kita butuh lebih banyak cara baru untuk menggugah kesadaran, dan teknologi AI bisa menjadi senjata yang ampuh,” kata Firman Lestari dari pemerhati Transparansi untuk Negeri.
Meski demikian, para ahli hukum mengingatkan agar penggunaan AI tidak sampai mencemarkan nama baik secara personal atau menyebarkan informasi palsu. “Kritik itu sah, tetapi harus tetap berdasar fakta. Kalau tidak, bisa berbalik menjadi pelanggaran hukum,” ujar pengacara publik, Rina Maulida.
Fenomena ini menandai babak baru dalam budaya kritik di Indonesia: dari spanduk jalanan dan demonstrasi, kini menuju layar ponsel yang canggih—semua demi satu harapan: Indonesia bebas dari korupsi. Penulis : Ridwan OPN