OPN – Garut , Dunia pendidikan Garut kembali tercoreng dengan kabar duka yang memilukan. Seorang siswa dari salah satu sekolah di Garut dilaporkan meninggal dunia, diduga kuat akibat tekanan psikis berat setelah mengalami perundungan (bullying) secara terus-menerus. Informasi yang beredar menyebutkan, korban mengalami depresi berat hingga nekat mengakhiri hidupnya.
Peristiwa ini pun memantik respons keras dari berbagai kalangan, salah satunya dari Kang Ridwan, ST, Pembina Assosiasi Pewarta Pers Indonesia (DPD API) Kabupaten Garut. Ia menegaskan, kejadian semacam ini tidak bisa dianggap remeh atau diselesaikan secara internal oleh sekolah semata. Menurutnya, ini sudah menjadi kasus hukum murni yang wajib diusut tuntas oleh aparat penegak hukum.
“Ini bukan hanya soal moral atau etika lagi, ini sudah masuk ranah pidana. Ketika bullying menyebabkan korban kehilangan nyawa, itu adalah kejahatan kemanusiaan yang jelas ada konsekuensi hukumnya,” tegas Kang Ridwan, Kamis (17/7/2025).
Bully Bukan Budaya, Tapi Kejahatan
Kang Ridwan menyebutkan bahwa praktik perundungan yang selama ini dianggap sebagai hal biasa dalam lingkungan sekolah, justru harus diluruskan. Tidak ada satu pun alasan yang membenarkan tindakan bullying dalam bentuk apapun, karena efeknya sangat fatal bagi korban, baik secara mental maupun fisik.
“Bullying itu bukan bagian dari didikan atau budaya sekolah. Itu murni kejahatan. Kalau sekolah membiarkan, sama artinya dengan turut andil dalam kejahatan tersebut. Ini yang harus dipahami oleh semua pihak,” ujarnya dengan nada geram.
Lebih lanjut, Ridwan meminta pihak kepolisian tidak ragu memeriksa semua pihak terkait, baik oknum pelaku, pihak sekolah yang lalai, maupun siapa saja yang terlibat menutupi kejadian tersebut.
“Buka semuanya secara terang benderang. Jangan ada yang dilindungi. Polisi harus segera bertindak, jangan tunggu viral baru bergerak. Jiwa anak bangsa lebih penting dari nama baik lembaga,” tambahnya.
Kepedulian Terhadap Psikologi Anak
Psikolog anak, Ratna Sari Dewi, saat dimintai pendapat menyebutkan, dampak bullying bisa memicu trauma mendalam, gangguan kecemasan, hingga depresi berat yang jika dibiarkan akan berujung pada tindakan nekat seperti bunuh diri.
“Perundungan itu luka batin yang tidak kelihatan, tapi menghancurkan secara perlahan. Banyak korban memilih diam karena takut, malu, atau tidak didengar. Dan ketika tekanan mental sudah melampaui batas, tindakan ekstrem bukan hal mustahil terjadi,” ujar Ratna.
Ratna menekankan pentingnya peran sekolah, orang tua, dan lingkungan sosial untuk lebih peka terhadap perubahan sikap anak. Tidak ada korban bunuh diri yang terjadi tiba-tiba, selalu ada tanda-tanda yang harusnya bisa dideteksi lebih awal.
kang ridwan berharap kasus ini diusut Tuntas, Jangan Ada Lagi Korban selanjutnya.
Peristiwa tragis ini menjadi cermin kelam bahwa dunia pendidikan hari ini masih menyimpan potret buram yang belum tersentuh penanganan serius. Harapan besar masyarakat, khususnya keluarga korban, kasus ini dapat diusut hingga tuntas dan terang benderang serta memberikan efek jera bagi siapa pun yang terlibat.
“Keadilan harus ditegakkan. Jangan ada lagi orang tua yang kehilangan anak karena bullying. Jangan ada lagi sekolah yang berlindung di balik dinding birokrasi demi menutupi aib,” tutup Kang Ridwan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak kepolisian Garut belum memberikan pernyataan resmi. Namun, dorongan kuat dari masyarakat, media, hingga pemerhati pendidikan semakin keras agar kasus ini tidak sekadar selesai di meja musyawarah.
ILM/Redaksi